DARAHKU
MENJADI MAHAR UNTUKMU
Malam pun
datang, dan lentera pun dinyalakan. Duduk sendirian seorang anak muda, belajar
dengan kondisi seadanya. Dia membuka halaman demi
halaman. Membaca setiap kata dan pahami maknanya. Sesaat dia
tersenyum melihat kedua adiknya yang tidur terlelap di keheningan malam. Di
dalam hatinya tersimpan pilu yang mendalam. Kedua orang yang sangat dicintainya
kini telah tiada. Beban kehidupan pun berpindah di pundaknya. Dia harus
membiayai sekolah kedua adiknya yang masih duduk di bangku SD dan SMA. Beruntung
dia dapat kuliah secara gratis berkat beasiswa dari pemerintah. Dalam hatinya
dia begitu sedih menjalani kehidupan sesukar ini , tapi di sisi lain dia
bahagia karena tetap dapat belajar walaupun harus bekerja siang malam. Dia pun
percaya suatu saat nanti nasib baik akan menghampirinya. Dia yakin Tuhan
senantiasa mendengar doa hamba-Nya yang sabar dan mau berusaha. Masa lalu
biarlah berlalu, masa depan ku segera menghampirimu.
Malam pun semakin larut, rasa kantuk pun mulai
menghampirinya. Rasa lelah mulai menggelayutinya. Seharian penuh tenaganya
terkuras untuk bekerja di sana sini. Kini, mata dan fisiknya tak kuasa
menemaninya. Tak terasa dia pun tertidur dengan pulasnya.
Kuku ruyukk….kuku ruyukkk…(suara ayam pun menandakan pagi
telah tiba). Sang kakak pun segera membangunkan kedua adiknya dan bersiap-siap
berangkat ke sekolah. Keceriaan terpancar di wajah mereka, karena hari ini
adalah hari di mana malaikat turun mencata amal mereka. Jadi, tadi malam mereka
sudah berniat untuk berpuasa.
Karena perjalanannya begitu jauh, mereka berangkat pagi-pagi.
Perjalanan mereka lumayan jauh. Mereka harus menyeberangi sungai yang cukup
dalam kemudian menaiki bukit yang terjal dan berbatu. Kadang kaki-kaki mungil
sang adik terpeleset karena jalanan yang licin dan berlumpur. Rasa lelahpun tak
mereka perdulikan. Semuanya diniatkan hanya untuk Thalaul ‘Ilmi. Tak berapa
lama samapilah mereka di tempat yang dituju. Setelah sang kakak
mengantarkan kedua adiknya ke sekolah dia pun segera menuju ke kampus.
Sesampainya di jalan raya, dia segera menaiki bus dan duduk di dekat pak supir.
Sang supir memang sudah mengenalnya sejak lama, tak heran mereka begitu akrab.
Selama di perjalanan mereka mengobrol cukup asyik hingga akhirnya secara tidak
sengaja sang supir menabrak sebuah mobil yang melintas di depannya.
Mereka berdua begitu terkejut dan kaget bukan main. Tanpa berpikir
panjang sang pemuda segera turun dan menghampiri mobil tersebut. Dia mencoba
membuka pintu mobil tersebut dan segera menyelamatkan pengemudi yang berada di
dalamnya.
Ternyata sang pengemudi tersebut adalah seorang wanita
muslimah. Tampak darah bercucuran di kepala wanita tersebut. Segera dia
membawanya ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, sang suster pun
segera membawanya ke ruang ICU. Aku pun menunggunya di luar dengan perasaan
cemas dan ketakutan luar biasa. Setelah menunggu cukup lama dokter pun keluar
dan mengajakku berbicara. Dia menejelaskan bahwa si wanita telah kehilangan
banyak darah karena benturan keras dan dia harus segera mendapatkan pendonor
darah AB. Sayangnya persediaan darah tersebut telah habis. Aku pun langsung
menawarkan diri untuk menjadi pendonor darah. aku langsung dibawa ke ruang
pengecekan darah. Ternyata setelah diadakan pengecekan, darahku positif cocok
dengannya dan kuputuskan mendonorkan darahku padanya.
Selesai pengambilan darah, aku memutuskan untuk beristirahat
dan salat di Musala. Ku tundukkan diriku untuk bermunajat kepada-Nya, berharap
Allah memberikan kesembuhan untuk si wanita.. Dalam hatinya dia begitu menyesal
atas kejadian yang menimpa wanita tersebut. “Ya Allah, maafkanlah dosa hamba-Mu
yang hampir saja menghilangkan nyawa seorang wanita muslimah” pintanya dengan
khusuk. Selesai salat aku langsung kembali ke ruang tunggu. Di sana aku melihat
beberapa orang yang aku menurut dugaanku mereka adalah keluarga wanita itu.
Mereka mulai menanyakan keadaan putrinya. Sang dokter pun menjelaskan bahwa
wanita tersebut telah kehilangan banyak darah dan seandainya wanita itu tidak
mendapatkan donor darah mungkin nyawanya tidak akan terselamatkan. “Berkat darah
pemuda itulah putri Bapak dan Ibu bisa selamat (sambil menunjuk ke arahku). Aku
pun hanya dapat tersenyum dan tidak bisa menghindar dari mereka. Mereka sangat
berterima kasih kepadaku atas segala bantuan yang aku berikan. Padahal
kenyataannya tidak seperti itu. Mereka juga mengundangku untuk makan malam
setelah putri mereka sembuh. Selang beberapa hari setelah kesembuhan wanita
itu, aku pun memenuhi undangan keluarganya.
Setelah sampai di rumah mereka. Aku dan kedua adikku
dipersilahkan masuk dan makan bersama. Selesai makan malam, kami pun
berbincang-bincang di ruang tamu. Mulailah berbagai pertanyaan menyelimuti
pikiranku. Mulailah kedua orang tua si wanita mengajukan berbagai pertanyaan
kepadaku. Aku pun hanya bisa menelan ludah dan berharap semua akan baik-baik
saja.
“Begini nak ??” “ Yusuf “ jawabku.
“Begini nak Yusuf, sekali lagi kami mengucapkan banyak
terima kasih atas kebaikan hati nak Yusuf. Dan kami ingin menyampaikan
keinginan Annisa, putri kami.” Jelas mereka kepadaku.
“Maaf, kalau boleh tahu keinginan apa ya?” tanyaku heran.
“Sebenarnya Annisa menginginkan agar nak Yusuf berkenan
menjadi pendampingnya” Jelas mereka. “Maksud Bapak Ibu pendamping apa?” tanyaku
semakin heran.
“Annisa berkeinginan melanjutkan sekolahnya di
Al-Azhar Kairo, dan dia membutuhkan seorang suami yang akan
mendampinginya nanti. Jadi apakah nak Yusuf berkenan menerima keinginan dari
Annisa?” tanya mereka lagi kepadaku.
“Tapi, saya ini hanya laki-laki biasa yang tidak punya
apa-apa. Lagi pula masih banyak pemuda lain yang jauh lebih baik dan pantas
untuk putri Bapak dan Ibu.” Jawabku dengan malu.
“Nak Yusuf, Annisalah yang memilih nak Yusuf, bagi dia yang
terpenting bukan pantas atau tidak. Allah tidak membeda-bedakan makhluk-Nya.
Kita semua sama di hadapan-Nya jadi jangan menilai bahwa kita tidak punya
apa-apa. Kita telah dikaruniai mata yang indah, tangan, dan kaki yang lengkap
dan multifungsi, serta hati nurani untuk merasa perasaan suka dan duka. Dan
mungkin perasaan suka inilah yang dirasakan Annisa kepada nak Yusuf.” Jelas
mereka panjang lebar. Mendengar penjelasan mereka, rasanya aku tidak bisa
menolaknya.
Dalam hati ku bertanya, “Ya Allah apakah ini ujian atau
penghargaan dari-Mu untukku?”
”Mungkin saya juga merasakan hal sama dengan putri Bapak dan
Ibu.” Jawabku pelan.
“Jadi, nak Yusuf mau menerimanya?” tanya mereka meyakinkan.
”Insya Allah, tapi saya tidak memiliki sesuatu yang berharga
untuk dijadikan mahar bagi Annisa.” Jawabku sedikit mengecewakan.
Secara tiba-tiba Annisa pun datang. “Maksud kamu apa, Suf ?
tidak punya sesuatu yang berharga? bukannya kau sudah memberikannya kepadaku?”
jawabnya.
“Memberikan apa?” tanyaku semakin bingung.
“Darahmu !!.” Jawabnya singkat. “Berkat darahmulah aku masih
bisa berada di sini dan tentu saja atas izin Allah. “Darahmu itu lebih berharga
dibandingkan dengan barang apapun di dunia ini sekalipun itu gunung emas.
Darahmu telah mengalir dalam diriku, jadi kau bisa menjadikannya mahar untuk
menikahiku.” Jawabnya.
“Apa”? jawab kami serempak tidak percaya mendengar ucapan
Annisa, apalagi aku. Aku pun terdiam sejenak. Dalam hatiku sebenarnya aku juga
menginginkannya. Sekilas kulihat wajah Annisa dan kedua orangtuanya begitu
berharap aku menerimanya. Akhirnya, setelah berpikir cukup lama kuputuskan
untuk menikahi Annisa dengan mahar berupa golongan darah AB yang telah aku
donorkan untuknya. Mendengar jawabku, Annisa serta kedua orang tuanya pun
begitu bahagia dan mengucap syukur Alhamdulillah. Tak terkecuali kedua adikku.
Dan apa yang aku impikan menjadi kenyataan. Sekarang kehidupku menjadi lebih
lengkap dengan kehadiran seorang istri shalihah, orang tua baru, serta kedua
adikku. “Sungguh Allah Swt memang Maha Indah seindah-indahnya dan Maha Adil
seadil-adilnya. Sekian…
(Lutfi Rismahani)
upichoney@gmail.com
http://luphoney.blogspot.com/
lutfi.rismahani@ymail.com
0 Comment:
Post a comment